Jumat, 30 September 2011

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

Diposting oleh shine gasari di 21.25.00



PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunung Kidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali

Tri Pranadji

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebjakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 No 2, Oktober 2006 : 178-206

Review:

Berpengaruhnya penguatan modal sosial dapat meningkatkan pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering yang saat ini mulai melemah dan rusak secara perlahan-lahan. Berkurangnya modal sosial dan pertahanan akan budaya-budaya setempat akan berpengaruh besar terhadap semakin rusaknya ALK (agroekosistem lahan kering). Upaya untuk mengembalikan ALK ke keadaan semula tidak bisa jika hanya dengan melakukan pengenalan teknologi usaha tani konservasi atau menerapkan pengetahuan ekologi yang terpisan dari pemberdayaan masyarakat pedesaan setempat. Untuk dapat membantu mengembalikan ALK kepada keadaan yang baik maka jalan yang terbaik adalah melakukan penguatan modal sosial yang berbasis kepada memperkuat nilai-nilai budaya di masyarakat setempat, hal itu dapat dijadikan bagian utama dalam proses perbaikan pengelolaan ALK di pedesaan Jawa.

Sedangkan, penguatan modal sosial harus diawali dari dari menguatnya modal nilai-nilai budaya yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat pedesaan. Elemen yang dinilai paling penting dalam modal sosial yang harus dimiliki masyarakat pedesaan adalah SDM atau sumberdaya manusia (human capital), manajemen sosial dan keorganisasian masyarakat madani yang kuat,struktur sosial yang kuat dan penyelenggaraan pemerintah yang baik.

Lahan kering merupakan bagian dari ekosistem tersetrial (Odum, 1971), dan merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu selama setahun (Hidayat dll, 2000). Agroekosistem Lahan Kering yang banyak dijumpai di daerah Jawa selama ini digunakan sebagai usaha tanaman-tanaman pertanian semusim yang hamper seluruhnya merata di daerah Jawa termasuk daerah0daerah perbukitan dan bagian yang berada di hulu DAS. Banyak ditemukan di daerah perbukitan dan bagian hulu DAS pada saat ini telah mengalami kerusakan yang sangat kompleks, akibat kerusakan Agroekosistem Lahan Kering di bagian daerah perbukitan dan bagian hulu DAS di Jawa ini telah menyulitkan keidupan masyarakat pedesaan setempat dan membuat kerugian sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi masyarakat bagian hilir yang relative besar. Dari tahun ke tahun diperkirakan kerugian-kerugian ini akan terus meningkat. Perbaikan dalam upaya pengelolaan ALK telah sering dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Jika usaha-usaha yang diupayakan tetap mengalami kegagalan, maka kerusakan akan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Tanpa bantuan masyarakat pedesaan di daerah sekitar, maka akan sulit dilakukan perbaikan secara menyeluruh, karena itulah masyarakat desa setempat harus ikut campur tangan dalam mengupayakan perbaikan ALK di daerah-daerah Jawa.

Kerusakan ALK sebagian besar disebabkan oleh lemahnya kemampuan petani atau masyarakat-masyarakat setempat dalam melakukan pengelolaan ALK dan kurang tegasnya atau ketidaktepatan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan model-model pemberdayaan masyarakat di desa setempat. Yang perlu di tingkatkan dari masyarakat di desa sekitar ALK ini yaitu peningkatan kesadaran tentang pentingnya menjaga ALK di sekitar daerah perbukitan, meski sejak akhir abad 18 masyarakat telah menyadari akan pentinganya menjaga kelestarian ALK dan melakukan pengelolaan yang baik, tetapi kenyataan-kenyataan dilapangan masih belum dapat menunjukkan kesadaran masyarakat akan menjaga ALK tersebut, justru kenyataan dilapangan menunjukkan suatu kondisi yang berkebalikan dengan anggapan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ALK. Kerusakan ALK di daerah Jawa sejak sekitar 4 abad yang lalu termasuk kerusakan yang sangat serius dengan pemanfaatan-pemanfaatan lahan yang tidak tepat dan degradasi lingkungan dikarenakan tidak adanya pengelolaan yang tepat dari masyarakat daerah sekitar. Bahkan dikatakan oleh Thijsse (1982) dan Pelzer (1982) pemanfaatan lahan di Jawa dalam beberapa dekade terakhir termasuk salah satu yang paling spektakuler di Asia Timur, mereka mengingatkan bahwa kerusakan ALK di daerah hulu DAS di Jawa, terutaa daerah perukitan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah mencapai tingkat yang sangat serius sejak 3-4 abad yang lalu. Dengan banyaknya permasalahan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan ini, maka harus dilakukan penguatan modal sosial dan budaya setempat untk ikut melindungi dan menjaga ALK dari kerusakan, dikatakan oleh Kliksberg tahun 1999 modal sosial dan budaya setempat dapat menjadi kunci pembuka (master key). Berpengaruhnya modal sosial dan budaya terhadap kerusakan ALK hingga kini masih belum mendapat perhatian yang khusus dan memadai, hal ini mengakibatkan semakin bertambah parahnya kerusakan yang terjadi dan membuat upaya penguatan modal sosial semakin mustahil untuk dicapai.

Masalah tersebut membuktikan bahwa tanpa campur tangan masyarakat sekitar dengan kemauan penuh dari masyarakat dan pemerintah maka akan sulit tejadi pencapaian yang baik dari masalah kerusakan atau degradasi lingkungan ALK. Kerusakan ini juga diperkirakan karena adanya faktor ekonomi dan kemiskinan warga setempat yang masih mendominasi penyebab dari masalah tersebut. Upaya yang dilakukan dengan cara penguatan modal sosial akan mungkin terjadi jika masyarakat yang bersangkutan mendukung dan dibantu dengan penguatan lembaga dan organisasi, jika tidak dengan cara seperti itu maka upaya apapun dan pembangunan apapun yang dilakukan di pedesaan tidak akan mencapai hasil yang baik dan sangat sulit untuk dilakukan, karena itulah diperlukan kerjasama antara pihak terkait dan usaha pemberdayaan masyarakat yang seimbang.

Proyek yang diperkenalkan oleh pemerintah kepada masyarakat pedesaan dalam bentuk proyek pengembangan ALK di perbukitan disebut model pengembangan ALK berbasis pemberdayaan masyarakat pedesaan. Proyek pengembangan tersebt juga dapat disebut sebagai model pemberdayaan masyarakat pedesaan dala pengelolaan ALK. Disebut sebagai pemberdayaan karena pemerintah mengingikan output yang dihasilkan dari model pengembangan ALK berbasis pemberdayaan masyarakat ini adalah menjadikan masyarakat berdaya dan mampu untuk menjadi pelaku utama dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan secara baik terhadap rusaknya ALK dan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator dan pembantu dalam tercapainya misi pemberdayaan tersebut guna mencapai tujuan utama yaitu memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ALK.

METODE

Pengenalan metode ini menggunakan pendekatan penganalisaan secara cross section. Dua model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ALK diamati secara bersamaan dan dengan menggunakan indikator yang sama. Penganalisaan terhadap dua model peberdayaan masyarakat, dengan cara membandingkan antara model satu dn model yang lainnya, dimaksudkan untuk mempertajam penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing model. Model pertama dikenal sebagai Up-land Agriculture and Conservation Project (UACP) di DAS Hulu Jratunseluna (di Boyolali, Jawa Tengah), atau bisa disebut P2LK; sedangkan model lainnya adalah Proyek Bangun Desa (di Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta), atau bisa disebut PBD. Dikaitkan dengan tujuan penelitian, perbedaan kedua model pemerdayaan masyarakat, yang di dalamnya terdapat penekanan pada penguatan modal sosial setempat.

PEMBAHASAN

Degradasi lahan yang terjadi di Hulu DAS Jratunseluna (desa gondnglegi dan gunungsari) telah mencapai tingkat yang sangat serius, tingkat kesuburan tanah dan tingkat kelestarian air di desa tersebut berkurang sangat banyak. Penggunaan tanaman semusim dan adanya erosi telah mengakibatkan lapisan tanah subur yang ada di desa Gondanglegi menjadi tergerus, humus yang ada di desa tersebut berkurang cukup banyak. Ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang sebagian besar tergantung pada hasil pertanian. Tetapi hal negatif yang terjadi di desa tersebut sangat berbeda halnya dengan yang terjadi di desa Kedungpoh, petani di desa tersebut telah mengurangi usahanya dalam menanami lahan dengan tanaman-tanaman semusim, masyarakat pedesaan tersebut lebih tertarik untuk menanamin lahan mereka dengan tanaman-tanaman keras yaitu tanaman buah-buahan dan kayu jati. Banyak tegalan-tegalan yang digunakan untuk kayu-kayuan. Meluasnya penggunaan lahan untuk tanaman-tanaman keras ini sangat terasa dalam beberapa tahun terakhir. Pengaruhnya terhadap Desa Kedungpoh dan Desa Katongan membuat sistem hidrologi di desa tersebut menjadi semakin baik.

Masyarakat di empat desa contoh (Gunungsari, Gondanglegi, Kedungpoh, Katongan) masih mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada pendapatan dari bertani atau agraris, lebih dari 75% penduduknya masih bekerja di sektor pertanian. Dari empat desa contoh, desa yang dapat dikatakan paling menonjol dalam hal kemajuan perkembangannya adalah Desa Kedungpoh yang tingkt peradaban ekonomi pasarnya paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Dilihat dari proporsi pekerja wiraswastanya membuktikan bahwa warga Kedungpoh yang menjadi buruh tani sudah berkurang sedikit demi sedikit dibandingkan dengan tiga desa lainnya.

Masyarakat pedesaan di keempat desa contoh merupakan hasil dari dinamika tatanan sejarah budaya dan ekologi agraris masyarakat Jawa. Masyarakat di keempat desa tersebut menunjukkan dinamika sosial yang pasang surut dikarenakan usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat pedesaan tersebut. ini membuktikan bahwa masyarakat pedesaan bukan hanya manusia yang secara fisik telah hidup bersama dalam kurun waktu tertentu, melainkan juga ada “semangat” atau ruh sosial yang menjadi kekuatan pengikat kehidupan kolektif mereka. Kekuatan-kekuatan nonmaterial ini justru menjadi faktor penting yang perlu untuk dipelajari alasannya mereka dapat bertahan samapi sekarang di keempat desa tersebut.

Terpenuhinya kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan telah mempengaruhi masyarakat untuk dapat terus bertahan dalam suatu kondisi apapun. Meski begitu, dikeempat desa tersebut hamper tidak ditemukan konflik-konflik sosial yang menyebabkan perpecahan di desa-desa tersebut, nilai kebudayaan dan modal sosial yang ada di keempat desa tersebut diyakini sebagai inti kekuatan yang mampu menghindarkan keempat desa tersebut dari masalah-masalah sosial yang dapat merusak hubungan baik antar desa. Karena itulah, pemerintah dapat memanfaatkan nilai budaya dan modal sosial untuk dapat memperbaiki kondisi ALK yang semakin parah. Pemanfaatan nilai budaya dan modal sosial yang telah dimiliki oleh masyarakat desa ini masih perlu dikembangkan lebih jauh lagi dengan diberikan pemberdayaan dan diberikan informasi-informasi terkait dengan kawasan-kawasan yang terkena dampak kerusakan untuk diperbaiki dan dikelola secara baik dan benar.

Aspek kepercayaan penduduk desa satu dengan yang lain dipercaya menjadi komponen utama pembentuk model sosial yang ada di pedesaan. Komponen kepercayaan tersebutlah yang akhirnya mendasari kerjasama dan jaringan-jaringan kerja yang baik di pedesaan antar sesama penduduk.

Modal sosial di Desa Kedungpoh memang lebih memiliki kekuatan yang berbeda dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, Desa Kedungpoh memiliki kekuatan yang paling tinggi atau dapat dikatakan sangat kuat dibandigkan dengan lainnya. Desa Gondanglegi dan Desa Katongan masuk dalam kategori desa yang memiliki modal sosial sedang dan kuat, sedangkan satu desa lain yaitu Desa Gunungsari memiliki modal sosial yang tergolong lemah, karena itulah dibutuhkan metode-metode yang tepat untuk pendekatan-pendekatan di masing-masing desa dikarenakan masing-masing desa memiliki karakteristik sosial dan ekonomi yang berbeda-beda.

Keberhasilan pengelolaan ALK bisa dilihat dari bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat pedesaan yang dicapai, cara penguatan modal sosial dapat dilihat dari komponen modal sosial yaitu kerja keras, kerajinan, cara berhemat, inovasi, penghargaan prestais, visi, pikiran rasional yang dapat menjadikan pengelolaan ALK di pedesaan dapat dilaksanakan secara baik dan sesuai dan dapat ditetapkan sebagai pengelolaan modal sosial secara berkelanjutan.

0 komentar on "PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING"

Posting Komentar

Jumat, 30 September 2011

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING



PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunung Kidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali

Tri Pranadji

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebjakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 No 2, Oktober 2006 : 178-206

Review:

Berpengaruhnya penguatan modal sosial dapat meningkatkan pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering yang saat ini mulai melemah dan rusak secara perlahan-lahan. Berkurangnya modal sosial dan pertahanan akan budaya-budaya setempat akan berpengaruh besar terhadap semakin rusaknya ALK (agroekosistem lahan kering). Upaya untuk mengembalikan ALK ke keadaan semula tidak bisa jika hanya dengan melakukan pengenalan teknologi usaha tani konservasi atau menerapkan pengetahuan ekologi yang terpisan dari pemberdayaan masyarakat pedesaan setempat. Untuk dapat membantu mengembalikan ALK kepada keadaan yang baik maka jalan yang terbaik adalah melakukan penguatan modal sosial yang berbasis kepada memperkuat nilai-nilai budaya di masyarakat setempat, hal itu dapat dijadikan bagian utama dalam proses perbaikan pengelolaan ALK di pedesaan Jawa.

Sedangkan, penguatan modal sosial harus diawali dari dari menguatnya modal nilai-nilai budaya yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat pedesaan. Elemen yang dinilai paling penting dalam modal sosial yang harus dimiliki masyarakat pedesaan adalah SDM atau sumberdaya manusia (human capital), manajemen sosial dan keorganisasian masyarakat madani yang kuat,struktur sosial yang kuat dan penyelenggaraan pemerintah yang baik.

Lahan kering merupakan bagian dari ekosistem tersetrial (Odum, 1971), dan merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu selama setahun (Hidayat dll, 2000). Agroekosistem Lahan Kering yang banyak dijumpai di daerah Jawa selama ini digunakan sebagai usaha tanaman-tanaman pertanian semusim yang hamper seluruhnya merata di daerah Jawa termasuk daerah0daerah perbukitan dan bagian yang berada di hulu DAS. Banyak ditemukan di daerah perbukitan dan bagian hulu DAS pada saat ini telah mengalami kerusakan yang sangat kompleks, akibat kerusakan Agroekosistem Lahan Kering di bagian daerah perbukitan dan bagian hulu DAS di Jawa ini telah menyulitkan keidupan masyarakat pedesaan setempat dan membuat kerugian sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi masyarakat bagian hilir yang relative besar. Dari tahun ke tahun diperkirakan kerugian-kerugian ini akan terus meningkat. Perbaikan dalam upaya pengelolaan ALK telah sering dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Jika usaha-usaha yang diupayakan tetap mengalami kegagalan, maka kerusakan akan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Tanpa bantuan masyarakat pedesaan di daerah sekitar, maka akan sulit dilakukan perbaikan secara menyeluruh, karena itulah masyarakat desa setempat harus ikut campur tangan dalam mengupayakan perbaikan ALK di daerah-daerah Jawa.

Kerusakan ALK sebagian besar disebabkan oleh lemahnya kemampuan petani atau masyarakat-masyarakat setempat dalam melakukan pengelolaan ALK dan kurang tegasnya atau ketidaktepatan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan model-model pemberdayaan masyarakat di desa setempat. Yang perlu di tingkatkan dari masyarakat di desa sekitar ALK ini yaitu peningkatan kesadaran tentang pentingnya menjaga ALK di sekitar daerah perbukitan, meski sejak akhir abad 18 masyarakat telah menyadari akan pentinganya menjaga kelestarian ALK dan melakukan pengelolaan yang baik, tetapi kenyataan-kenyataan dilapangan masih belum dapat menunjukkan kesadaran masyarakat akan menjaga ALK tersebut, justru kenyataan dilapangan menunjukkan suatu kondisi yang berkebalikan dengan anggapan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ALK. Kerusakan ALK di daerah Jawa sejak sekitar 4 abad yang lalu termasuk kerusakan yang sangat serius dengan pemanfaatan-pemanfaatan lahan yang tidak tepat dan degradasi lingkungan dikarenakan tidak adanya pengelolaan yang tepat dari masyarakat daerah sekitar. Bahkan dikatakan oleh Thijsse (1982) dan Pelzer (1982) pemanfaatan lahan di Jawa dalam beberapa dekade terakhir termasuk salah satu yang paling spektakuler di Asia Timur, mereka mengingatkan bahwa kerusakan ALK di daerah hulu DAS di Jawa, terutaa daerah perukitan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah mencapai tingkat yang sangat serius sejak 3-4 abad yang lalu. Dengan banyaknya permasalahan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan ini, maka harus dilakukan penguatan modal sosial dan budaya setempat untk ikut melindungi dan menjaga ALK dari kerusakan, dikatakan oleh Kliksberg tahun 1999 modal sosial dan budaya setempat dapat menjadi kunci pembuka (master key). Berpengaruhnya modal sosial dan budaya terhadap kerusakan ALK hingga kini masih belum mendapat perhatian yang khusus dan memadai, hal ini mengakibatkan semakin bertambah parahnya kerusakan yang terjadi dan membuat upaya penguatan modal sosial semakin mustahil untuk dicapai.

Masalah tersebut membuktikan bahwa tanpa campur tangan masyarakat sekitar dengan kemauan penuh dari masyarakat dan pemerintah maka akan sulit tejadi pencapaian yang baik dari masalah kerusakan atau degradasi lingkungan ALK. Kerusakan ini juga diperkirakan karena adanya faktor ekonomi dan kemiskinan warga setempat yang masih mendominasi penyebab dari masalah tersebut. Upaya yang dilakukan dengan cara penguatan modal sosial akan mungkin terjadi jika masyarakat yang bersangkutan mendukung dan dibantu dengan penguatan lembaga dan organisasi, jika tidak dengan cara seperti itu maka upaya apapun dan pembangunan apapun yang dilakukan di pedesaan tidak akan mencapai hasil yang baik dan sangat sulit untuk dilakukan, karena itulah diperlukan kerjasama antara pihak terkait dan usaha pemberdayaan masyarakat yang seimbang.

Proyek yang diperkenalkan oleh pemerintah kepada masyarakat pedesaan dalam bentuk proyek pengembangan ALK di perbukitan disebut model pengembangan ALK berbasis pemberdayaan masyarakat pedesaan. Proyek pengembangan tersebt juga dapat disebut sebagai model pemberdayaan masyarakat pedesaan dala pengelolaan ALK. Disebut sebagai pemberdayaan karena pemerintah mengingikan output yang dihasilkan dari model pengembangan ALK berbasis pemberdayaan masyarakat ini adalah menjadikan masyarakat berdaya dan mampu untuk menjadi pelaku utama dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan secara baik terhadap rusaknya ALK dan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator dan pembantu dalam tercapainya misi pemberdayaan tersebut guna mencapai tujuan utama yaitu memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ALK.

METODE

Pengenalan metode ini menggunakan pendekatan penganalisaan secara cross section. Dua model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ALK diamati secara bersamaan dan dengan menggunakan indikator yang sama. Penganalisaan terhadap dua model peberdayaan masyarakat, dengan cara membandingkan antara model satu dn model yang lainnya, dimaksudkan untuk mempertajam penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing model. Model pertama dikenal sebagai Up-land Agriculture and Conservation Project (UACP) di DAS Hulu Jratunseluna (di Boyolali, Jawa Tengah), atau bisa disebut P2LK; sedangkan model lainnya adalah Proyek Bangun Desa (di Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta), atau bisa disebut PBD. Dikaitkan dengan tujuan penelitian, perbedaan kedua model pemerdayaan masyarakat, yang di dalamnya terdapat penekanan pada penguatan modal sosial setempat.

PEMBAHASAN

Degradasi lahan yang terjadi di Hulu DAS Jratunseluna (desa gondnglegi dan gunungsari) telah mencapai tingkat yang sangat serius, tingkat kesuburan tanah dan tingkat kelestarian air di desa tersebut berkurang sangat banyak. Penggunaan tanaman semusim dan adanya erosi telah mengakibatkan lapisan tanah subur yang ada di desa Gondanglegi menjadi tergerus, humus yang ada di desa tersebut berkurang cukup banyak. Ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang sebagian besar tergantung pada hasil pertanian. Tetapi hal negatif yang terjadi di desa tersebut sangat berbeda halnya dengan yang terjadi di desa Kedungpoh, petani di desa tersebut telah mengurangi usahanya dalam menanami lahan dengan tanaman-tanaman semusim, masyarakat pedesaan tersebut lebih tertarik untuk menanamin lahan mereka dengan tanaman-tanaman keras yaitu tanaman buah-buahan dan kayu jati. Banyak tegalan-tegalan yang digunakan untuk kayu-kayuan. Meluasnya penggunaan lahan untuk tanaman-tanaman keras ini sangat terasa dalam beberapa tahun terakhir. Pengaruhnya terhadap Desa Kedungpoh dan Desa Katongan membuat sistem hidrologi di desa tersebut menjadi semakin baik.

Masyarakat di empat desa contoh (Gunungsari, Gondanglegi, Kedungpoh, Katongan) masih mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada pendapatan dari bertani atau agraris, lebih dari 75% penduduknya masih bekerja di sektor pertanian. Dari empat desa contoh, desa yang dapat dikatakan paling menonjol dalam hal kemajuan perkembangannya adalah Desa Kedungpoh yang tingkt peradaban ekonomi pasarnya paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Dilihat dari proporsi pekerja wiraswastanya membuktikan bahwa warga Kedungpoh yang menjadi buruh tani sudah berkurang sedikit demi sedikit dibandingkan dengan tiga desa lainnya.

Masyarakat pedesaan di keempat desa contoh merupakan hasil dari dinamika tatanan sejarah budaya dan ekologi agraris masyarakat Jawa. Masyarakat di keempat desa tersebut menunjukkan dinamika sosial yang pasang surut dikarenakan usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat pedesaan tersebut. ini membuktikan bahwa masyarakat pedesaan bukan hanya manusia yang secara fisik telah hidup bersama dalam kurun waktu tertentu, melainkan juga ada “semangat” atau ruh sosial yang menjadi kekuatan pengikat kehidupan kolektif mereka. Kekuatan-kekuatan nonmaterial ini justru menjadi faktor penting yang perlu untuk dipelajari alasannya mereka dapat bertahan samapi sekarang di keempat desa tersebut.

Terpenuhinya kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan telah mempengaruhi masyarakat untuk dapat terus bertahan dalam suatu kondisi apapun. Meski begitu, dikeempat desa tersebut hamper tidak ditemukan konflik-konflik sosial yang menyebabkan perpecahan di desa-desa tersebut, nilai kebudayaan dan modal sosial yang ada di keempat desa tersebut diyakini sebagai inti kekuatan yang mampu menghindarkan keempat desa tersebut dari masalah-masalah sosial yang dapat merusak hubungan baik antar desa. Karena itulah, pemerintah dapat memanfaatkan nilai budaya dan modal sosial untuk dapat memperbaiki kondisi ALK yang semakin parah. Pemanfaatan nilai budaya dan modal sosial yang telah dimiliki oleh masyarakat desa ini masih perlu dikembangkan lebih jauh lagi dengan diberikan pemberdayaan dan diberikan informasi-informasi terkait dengan kawasan-kawasan yang terkena dampak kerusakan untuk diperbaiki dan dikelola secara baik dan benar.

Aspek kepercayaan penduduk desa satu dengan yang lain dipercaya menjadi komponen utama pembentuk model sosial yang ada di pedesaan. Komponen kepercayaan tersebutlah yang akhirnya mendasari kerjasama dan jaringan-jaringan kerja yang baik di pedesaan antar sesama penduduk.

Modal sosial di Desa Kedungpoh memang lebih memiliki kekuatan yang berbeda dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, Desa Kedungpoh memiliki kekuatan yang paling tinggi atau dapat dikatakan sangat kuat dibandigkan dengan lainnya. Desa Gondanglegi dan Desa Katongan masuk dalam kategori desa yang memiliki modal sosial sedang dan kuat, sedangkan satu desa lain yaitu Desa Gunungsari memiliki modal sosial yang tergolong lemah, karena itulah dibutuhkan metode-metode yang tepat untuk pendekatan-pendekatan di masing-masing desa dikarenakan masing-masing desa memiliki karakteristik sosial dan ekonomi yang berbeda-beda.

Keberhasilan pengelolaan ALK bisa dilihat dari bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat pedesaan yang dicapai, cara penguatan modal sosial dapat dilihat dari komponen modal sosial yaitu kerja keras, kerajinan, cara berhemat, inovasi, penghargaan prestais, visi, pikiran rasional yang dapat menjadikan pengelolaan ALK di pedesaan dapat dilaksanakan secara baik dan sesuai dan dapat ditetapkan sebagai pengelolaan modal sosial secara berkelanjutan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Amazing World Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting