Kamis, 13 Oktober 2011

Lilypad, kota terapung ramah lingkungan (ecopolis)

Diposting oleh shine gasari di 18.27.00





Arsitek dari Belgia, Vincent Callebaut, mengajukan terobosan baru untuk menghadapi masalah kenaikan permukaan air laut. Kenaikan tersebut disebabkan oleh mencairnya sumber es raksasa di Benua Antartika dan Greenland serta kumpulan gletser yang ada di berbagai daerah. Menurut ramalan GIEC (Intergovernmental Group on the Evolution of the Climate), permukaan air laut sudah naik 20 – 90 cm pada abad 21 dengan nilai rata-rata 50 cm (pada abad 20, nilai rata-rata sebesar 10 cm). Para ilmuwan dunia memperkirakan bahwa kenaikan temperatur sebesar 1°C akan menyebabkan peningkatan ketinggian permukan air laut sebesar 1 meter. Peningkatan tersebut akan menenggelamkan daratan sekitar 0.05% di Uruguay, 1% di Mesir, 6% di Belanda, 17.5% di Bangladesh dan 80% di Kepulauan Marshall dan Kiribati hingga Kepulauan Maladewa. Hal ini akan mempengaruhi lebih dari 50 juta orang yang ada di negara berkembang. Daratan yang tidak tenggelam akan memiliki tingkat pencemaran keasinan air laut yang tinggi sehingga akan merusak ekosistem lokal.Akibatnya, kota-kota seperti New York, Bombay, Calcutta, Hô Chi Minh City, Shanghai, Miami, Lagos, Abidjan, Jakarta, dan Alexandria akan menghasilkan lebih dari 250 juta pengungsi.

Solusi yang ditawarkan oleh Vincent Callebaut adalah Lilypad, kota terapung yang merupakan prototipe kota amfibi dengan sebagian daerah akuatik dan sebagian lagi daerah daratan. Kota ini mampu mengakomodasi 50.000 penduduk dan dapat menghidupi dirinya sendiri. Lilypad dapat mengembangkan flora dan faunanya di sekitar danau yang dapat menampung dan menjernihkan air hujan. Kota ini didesain dengan 3 marina dan 3 gunung yang didedikasikan untuk perkantoran, pertokoan, dan tempat hiburan. Seluruh daerah ditutupi oleh perumahan dan taman serta jalan dan gang dengan outline organik. Dengan adanya kota ini, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dan alam serta dapat mendalami mode baru untuk tinggal di laut dengan bangunan yang yang dapat bergerak. Struktur mengapung Lilypad diinspirasi oleh daun lili yang diperbesar 250 kali. Kulitnya yang tebal terbuat dari serat polyester yang dilapisi dengan titanium oksida seperti anatase sehingga dapat mengabsorbsi polusi atmosfer dengan efek fotokatalitik. Ecopolis terapung ini juga dapat menghasilkan dan melunakkan oksigen dan listrik sendiri dengan mendaur ulang karbon dioksida dan limbahnya, dan menjernihkan serta melunakkan air yang sudah terpakai.

Lilypad, Kota Terapung Ramah Lingkungan. Vincent menjanjikan bahwa kota ini telah mengatasi 4 (empat) masalah utama manusia, yaitu iklim, biodiversitas (keragaman alami makhluk hidup), air, dan kesehatan. Kota ini mendapat sumber daya dari matahari, angin, dan arus laut yang akan memproduksi lebih banyak energi daripada energi yang dikonsumsinya. Selain itu juga akan menjadi kota yang ber-"emisi nol" karena semua karbon dan limbah akan didaur ulang. Vincent percaya bahwa produknya ini adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi naiknya air laut. Memperkuat garis pantai bukanlah solusi karena hanyalah solusi jangka pendek. Menurutnya, desain dari kota terapung ini diinspirasikan dari daun Lili yang mempunyai nama latin Amazonia Victoria Regia (famili Nympheas) yang memiliki tulang daun yang sangat rapat. Tanaman akuatik ini ditemukan oleh ahli botani dari Jerman, Thaddeaus Haenke, yang dipersembahkan kepada Ratu Victoria dari Inggris pada abad 19. Kulit permukaannya yang "double" terdiri dari serat-serat polyester yang ter-cover oleh lapisan titanium dioxide (TiO2) seperti anatase, sehingga dapat mengabsorbsi polusiatmosfer melalui efek fotokatalis. Tujuan Vincent membuat kota ini adalah menciptakan "hubungan yang harmonis antara manusia dan alam", juga mengeksplorasi model baru tinggal di laut dengan membangun ruang-ruang kolektif yang dapat bergerak.


0 komentar on "Lilypad, kota terapung ramah lingkungan (ecopolis)"

Posting Komentar

Kamis, 13 Oktober 2011

Lilypad, kota terapung ramah lingkungan (ecopolis)






Arsitek dari Belgia, Vincent Callebaut, mengajukan terobosan baru untuk menghadapi masalah kenaikan permukaan air laut. Kenaikan tersebut disebabkan oleh mencairnya sumber es raksasa di Benua Antartika dan Greenland serta kumpulan gletser yang ada di berbagai daerah. Menurut ramalan GIEC (Intergovernmental Group on the Evolution of the Climate), permukaan air laut sudah naik 20 – 90 cm pada abad 21 dengan nilai rata-rata 50 cm (pada abad 20, nilai rata-rata sebesar 10 cm). Para ilmuwan dunia memperkirakan bahwa kenaikan temperatur sebesar 1°C akan menyebabkan peningkatan ketinggian permukan air laut sebesar 1 meter. Peningkatan tersebut akan menenggelamkan daratan sekitar 0.05% di Uruguay, 1% di Mesir, 6% di Belanda, 17.5% di Bangladesh dan 80% di Kepulauan Marshall dan Kiribati hingga Kepulauan Maladewa. Hal ini akan mempengaruhi lebih dari 50 juta orang yang ada di negara berkembang. Daratan yang tidak tenggelam akan memiliki tingkat pencemaran keasinan air laut yang tinggi sehingga akan merusak ekosistem lokal.Akibatnya, kota-kota seperti New York, Bombay, Calcutta, Hô Chi Minh City, Shanghai, Miami, Lagos, Abidjan, Jakarta, dan Alexandria akan menghasilkan lebih dari 250 juta pengungsi.

Solusi yang ditawarkan oleh Vincent Callebaut adalah Lilypad, kota terapung yang merupakan prototipe kota amfibi dengan sebagian daerah akuatik dan sebagian lagi daerah daratan. Kota ini mampu mengakomodasi 50.000 penduduk dan dapat menghidupi dirinya sendiri. Lilypad dapat mengembangkan flora dan faunanya di sekitar danau yang dapat menampung dan menjernihkan air hujan. Kota ini didesain dengan 3 marina dan 3 gunung yang didedikasikan untuk perkantoran, pertokoan, dan tempat hiburan. Seluruh daerah ditutupi oleh perumahan dan taman serta jalan dan gang dengan outline organik. Dengan adanya kota ini, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dan alam serta dapat mendalami mode baru untuk tinggal di laut dengan bangunan yang yang dapat bergerak. Struktur mengapung Lilypad diinspirasi oleh daun lili yang diperbesar 250 kali. Kulitnya yang tebal terbuat dari serat polyester yang dilapisi dengan titanium oksida seperti anatase sehingga dapat mengabsorbsi polusi atmosfer dengan efek fotokatalitik. Ecopolis terapung ini juga dapat menghasilkan dan melunakkan oksigen dan listrik sendiri dengan mendaur ulang karbon dioksida dan limbahnya, dan menjernihkan serta melunakkan air yang sudah terpakai.

Lilypad, Kota Terapung Ramah Lingkungan. Vincent menjanjikan bahwa kota ini telah mengatasi 4 (empat) masalah utama manusia, yaitu iklim, biodiversitas (keragaman alami makhluk hidup), air, dan kesehatan. Kota ini mendapat sumber daya dari matahari, angin, dan arus laut yang akan memproduksi lebih banyak energi daripada energi yang dikonsumsinya. Selain itu juga akan menjadi kota yang ber-"emisi nol" karena semua karbon dan limbah akan didaur ulang. Vincent percaya bahwa produknya ini adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi naiknya air laut. Memperkuat garis pantai bukanlah solusi karena hanyalah solusi jangka pendek. Menurutnya, desain dari kota terapung ini diinspirasikan dari daun Lili yang mempunyai nama latin Amazonia Victoria Regia (famili Nympheas) yang memiliki tulang daun yang sangat rapat. Tanaman akuatik ini ditemukan oleh ahli botani dari Jerman, Thaddeaus Haenke, yang dipersembahkan kepada Ratu Victoria dari Inggris pada abad 19. Kulit permukaannya yang "double" terdiri dari serat-serat polyester yang ter-cover oleh lapisan titanium dioxide (TiO2) seperti anatase, sehingga dapat mengabsorbsi polusiatmosfer melalui efek fotokatalis. Tujuan Vincent membuat kota ini adalah menciptakan "hubungan yang harmonis antara manusia dan alam", juga mengeksplorasi model baru tinggal di laut dengan membangun ruang-ruang kolektif yang dapat bergerak.


0 komentar:

Posting Komentar

 

The Amazing World Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting